Di sebuah kota kecil yang tenggelam dalam riuh teknologi, tinggal seorang pemuda bernama Raka. Usianya baru 22 tahun, namun hidupnya sudah terikat pada layar ponsel dan notifikasi media sosial. Dunia di sekitarnya sering ia abaikan, termasuk suara lembut ibunya yang kini hanya menjadi latar dalam hidupnya.
Suatu malam, listrik di seluruh kota padam. Raka, yang sedang sibuk menggulirkan layar ponselnya, mengumpat kesal. Tanpa internet, tanpa cahaya, ia merasa seperti terjebak di ruang kosong. Dengan enggan, ia keluar dari kamarnya, mencari lilin di dapur.
“Raka, listrik mati ya?” Suara ibunya terdengar dari ruang tamu. Wanita itu duduk di kursi tua dengan sebuah buku di tangannya, diterangi sinar remang dari lilin kecil. Raka mengangguk sambil menggerutu, lalu duduk di sebelah ibunya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya ibunya lembut.
“Bosannya, Bu. Mau ngapain coba kalau begini?” keluh Raka.
Ibunya tersenyum samar. “Mungkin ini waktu yang baik untuk ngobrol. Sudah lama kita tidak berbicara, bukan?”
Raka terdiam. Ia menyadari bahwa sudah berminggu-minggu ia hanya menjawab ibunya dengan gumaman, atau sekadar anggukan tanpa arti. Malam itu, di bawah sinar lilin, mereka mulai berbincang. Tentang masa kecil Raka, tentang mimpi ibunya yang belum tercapai, dan tentang ayah Raka yang telah tiada.
“Ibu dulu suka menulis puisi,” kata ibunya sambil membuka buku yang dipegangnya. “Ini salah satu favorit Ibu. Mau dengar?”
Raka mengangguk. Ibunya mulai membacakan puisi itu dengan suara pelan namun penuh emosi. Kata-katanya sederhana, namun menyentuh. Raka mendengar setiap bait dengan saksama, merasa ada sesuatu yang selama ini hilang dalam hidupnya—kehangatan, kedalaman, dan koneksi nyata.
Ketika listrik kembali menyala, Raka melihat layar ponselnya berkedip. Notifikasi membanjir, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa tak tertarik.
“Bu, boleh pinjam bukunya?” tanyanya tiba-tiba.
Ibunya terkejut, tetapi tersenyum bahagia. “Tentu saja. Baca pelan-pelan, ya. Di dalamnya ada banyak hal yang bisa kamu pelajari.”
Hari-hari berikutnya, Raka mulai membaca puisi-puisi itu. Ia menulis kembali bait-bait yang paling ia sukai di buku catatannya, bahkan mencoba membuat puisinya sendiri. Ia juga mulai mengurangi waktu di media sosial, memilih berbicara lebih banyak dengan ibunya atau berjalan-jalan di taman kota.
Beberapa bulan kemudian, Raka mengikuti lomba menulis puisi dan memenangkan juara pertama. Di atas panggung, ia mengucapkan terima kasih kepada ibunya, yang mengajarkannya bahwa dunia nyata jauh lebih kaya daripada sekadar layar ponsel.
Kini, Raka menjadi sosok yang berbeda. Ia sering mengingatkan teman-temannya, “Kita bukan diciptakan untuk hidup di dalam layar. Ada dunia yang menunggu di luar sana, dengan suara, warna, dan cerita yang tak akan pernah habis.”
Malam itu, listrik padam telah membuka ruang kosong di hati Raka—ruang yang kini ia isi dengan hal-hal yang bermakna.