Oleh:
Aisyah Fayyaza Zahirah
Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, pengalaman pribadi yang dilalui selama masa kanak-kanak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan psikologis dan sosialnya. Bagi anak laki-laki, pengalaman-pengalaman ini tidak hanya membentuk identitas mereka, tetapi juga mempengaruhi cara mereka menjalani hubungan dengan orang lain, terutama dalam konteks romantis di masa dewasa. Artikel ini akan membahas bagaimana pengalaman pribadi, yang mencakup hubungan dengan orang tua dapat berkontribusi dalam membentuk pola perilaku dan harapan seorang laki-laki terhadap hubungan romantis di masa depan. Melalui pemahaman ini, diharapkan kita dapat lebih menghargai kompleksitas faktor-faktor yang berperan dalam kehidupan emosional dan relasi pribadi seseorang.
Faktor yang melatarbelakangi hal ini adalah yang pertama, Budaya Patriaki. Budaya patriaki mengacu pada suatu sistem di mana kepimpinan dan kontrol lebih banyak berada di tangan pria. Dalam struktur ini, pria seringkali berperan sebagai kepala keluarga dan mengambil keputusan utama, sementara wanita dianggap memiliki posisi yang lebih rendah, terutama dalam hal domestik. Pandangan ini dapat menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan dalam rumah tangga, yang berpotensi menyebabkan terjadinya KDRT. Di masyarakat patriarkal, kekerasan terhadap wanita seringkali dipandang sebagai cara untuk mengendalikan atau ” mendisiplinkan ” istri, yang semakin memperburuk ketidaksetaraan gender. Faktor yang kedua adalah Streotype yang jelek. Streotype yang buruk ini mengacu pada contoh lelaki macho dan kuat, sedangkan perempuan itu lemah. Streotype sosial ini mengenai maskulinitas dan femininitas juga berperan signifikan dalam KDRT. Laki-laki seringkali diharapkan menunjukkan sikap ” macho ” atau kuat, yang seringkali diartikan sebagai kontrol dan dominasi hingga menggunakan kekerasan. di sisi lain, wanita sering dianggap lemah, emosional, dan bergantung pada laki-laki, yang dapat meningkatkan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi situasi kekerasan. Faktor yang ketiga adalah Saling tidak memahami. kurangnya pemahaman antara pasangan dalam sebuah hubungan dapat meningkatkan risiko KDRT. Jika kedua pihak tidak saling memahami kebutuhan emosional, fisik, atau psikologis satu sama lain, dapat muncul ketegangan yang berujung pada kekerasan. Misalnya, perbedaan dalam cara berkomunikasi, harapan yang tidak realistis, atau ketidaktahuan dalam mengelola konflik dapat membuat pasangan merasa terancam atau tidak dihargai, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kekerasan fisik atau verbal.
Trauma yang dialami seseorang pada masa kecil dapat memicu perkembangan pola perilaku tertentu, yang seringkali mengakibatkan individu tersebut mengulangi pengalaman traumatis di masa depan. beberapa faktor yang berkontribusi terhadap fenomena ini meliputi yang pertama, Memori dan pencitraan kognitif. Trauma masa kecil dapat mempengaruhi cara otak menyimpan dan mengingat peristiwa. Memori yang terkait dengan trauma seringkali tidak terintegrasi dengan baik atau bahkan mengalami distorsi, sehingga dapat memicu reaksi otomatis di suatu serupa kemudian hari. Individu mungkin bertindak atau bereaksi mirip dengan pengalaman masa lalu mereka tanpa sepenuhnya menyadari keterkaitan tersebut. Faktor selanjutnya adalah Perubahan pada otak dan sistem saraf. Pengalaman traumatis dapat mempengaruhi struktur di area yang mengatur emosi dan respons terhadap stres, seperti amigdala dan hippocampus. Ketika individu dihadapkan pada situasi yang mengingatkan pada masa lalu, amigdala dapat merespons dengan reaksi emosional/fisik yang tidak proporsional, meskipun situasi tersebut tidak berbahaya. Hal ini dapat mengakibatkan terjebaknya individu dalam pola perilaku berulang. Faktor yang terakhir adalah berupa Pengkondisian dan pembelajaran sosial. Saat masa kecil, individu belajar berinteraksi dengan dunia berdasarkan pengalaman mereka. Jika seseorang mengalami kekerasan, mereka mungkin berasumsi bahwa respons tertentu adalah cara yang ‘ normal ‘ untuk menghadapi situasi stres. Ketika mereka tumbuh dewasa dan dihadapkan pada situasi yang serupa, mereka mungkin secara otomatis menerapkan pola perilaku tersebut sebagai cara untuk merespons emosi yang muncul, meskipun pendekatan ini mungkin tidak sehat.
Komnas perempuan mencatat dalam rentang 10 tahun terakhir dapat lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan berbasis gender sudah dilaporkan pada banyak lembaga. khusus tahun 2023 saja, catatan tahunan (catahu) komnas perempuan mencatat 289.111 kasus kekerasan berbasis gender.
Kekerasan dalam rumah tangga memili dampak besar bagi korban. meliputi aspek fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dampak fisik termasuk luka, memar, patah tulang, dan masalah kesehatan jangka panjang seperti gangguan tidur dan stres. Secara psikologis, korban seringkali merasa cemas, depresi, rendah diri, dan dapat mengembangkan gangguan mental seperti PTSD. Dalam aspek sosial, Korban kekerasan dalam rumah tangga seringkali merasa malu atau takut dicap “lemah” atau “gagal” dalam menjalin hubungan. Hal ini bisa membuat mereka enggan untuk meminta bantuan atau berbicara dengan orang lain tentang apa yang mereka alami. Sedangkan, aspek ekonominya adalah kekerasan dalam rumah tangga seringkali menyebabkan ketergantungan finansial pada pelakunya. Hal ini menyulitkan para korban untuk melarikan diri dari situasi kekerasan karena mereka khawatir akan kelangsungan ekonomi mereka dan keluarga mereka.
Adapaun langkah-langkah yang seharusnya dilakukan sebelum kejadian KDRT adalah kenali tanda-tanda kekerasan. Jika ada sesorang yang dikenal menunjukkan tanda-tanda kekerasan fisik, psikologis, atau ekonomi, penting untuk segera menyadari dan mengenali tanda-tanda tersebut. Yang kedua adalah membangun jaringan dukungan. Miliki relasi yang dapat dipercaya, seperti teman, keluarga, atau konselor yang siap memberikan dukungan dalam situasi darurat. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan rencana darurat. Siapkan tempat aman untuk melarikan diri jika situasi semakin memburuk. Langkah yang keempat adalh menyimpan bukti. Jika memungkinkan, dokumentasikan segala bentuk kekerasan yang terjadi. Bukti ini akan sangat berguna untuk langkah hukkum di kemudian hari.
Adapun saat KDRT sudah terjadi, yang pertama adalah menjauh dari pelaku segera cari tempat aman dan hindari berinteraksi dengan pelaku kekerasan untuk mencegah cedera lebih lanjut. Yang kedua adalah mendapatkan bantuan medis. Jika mengalami luka fisik, cepatlah mencari pertolongan medis. Meskipun tidak ada luka yang terliahat, perawatan psikologis juga sangat penting. Selanjutnya adalah melaporkan pada pihak berwajib. Melaporkan kejadian KDRT kepada polisi adalah langkah krusial untuk melindungi diri dan mencegah kejadian serupa di masa depan. yang terakhir adalah mempertimbangkan langkah hukum. Pertimbangkan untuk mengajukan perlindungan/ mengambil tindakan hukum lain seperti perceraian atau tuntutan hukum terhadap pelaku.
KDRT bukan masalah sepele, dan sangat penting bagi korban untuk mendapatkan dukungan dalam mengatasi situasi berbahaya ini. Jika anda atau seseorang yang anda kenal membutuhkan bantuan segera, jangan ragu untuk menghubungi layanan darurat atau lembaga yang dapat memberikan pertolongan.
Referensi:
Merung, P. V. (2016). Kajian Kriminologi Terhadap Upaya Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum: Veritas et Justitia, 2(2). https://doi.org/10.25123/vej.v2i2Rofiah, N. (2017). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 2(1), 31–44. https://doi.org/10.15575/jw.v2i1.829