Oleh:
Helmy Aditya MaulanaUniversitas Muhammadiyah Malang
Menciptakan suatu lingkungan yang adil, profesional dan produktif dibutuhkan suatu aspek penting yang harus ada yaitu Kesetaraan Gender. Steorotip mengenai gender masih memengaruhi cara masayarakat berperilaku di dunia kerja khususnya di lingkungan kerja dalam menilai teman kerja dengan berdasar jenis kelamin. Contohnya, adanya stereotip dan anggapan bahwa yang mengampu posisi sebagai pemimpin dalam kepemimpinan adalah pria, sedangkan yang untuk bagian administratifnya lebih cocok jika wanita. Adanya pandangan seperti hal-hal seperti ini dapat mengurangi dan membatasi adanya kesempatan kerja yang ada serta bisa memperlambat potensi dari setiap individu. Adapun contoh lain yaitu dalam pengambilan keputusan, laki-laki sering diasosiasikan dan dianggap lebih cocok, sementara itu perempuan dianggap lebih berperan untuk hal-hal yang berkaitan dengan dukungan dan empati. Adanya pandangan dan steorotip ini dapat membatasi perempuan dalam ruang geraknya untuk berkembang dan berkontribusi penuh dalam ruang kerjanya.
Hambatan dapat terjadi di lingkungan kerja dalam menciptakan suatu kesetaraan baik dalam perspektif laki-laki ataupun perempuan, hal ini bisa disebut sebagai stereotip gender. Maka dari itu, untuk menciptakan suatu kesetaraan gender yang ada di lingkungan kerja, diperlukannya suatu upaya dalam mengatasi hal-hal seperti adanya stereotip gender di lingkungan kerja. Kesetaraan gender memberikan perlakuan yang sama kepada pria dan wanita, namun tidak hanya itu kesetaraan gender juga dapat menciptakan suatu sistem yang adil untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan kerja dan bisa mencapai dan meningkatkan setiap potensi yang ada pada masing-masing individu. Stereotip mencakup beberapa pandangan yang sangat melekat pada setiap gender khususnya dalam peran, karakteristik, dan kemampuan yang ada yang bisa dianggap sesuai dengan jenis kelamin tertentu. Hal ini, dengan adanya stereotip dapat membebani pria dengan harapan sosial yang tinggi sehingga dapat berakibat terhadap peran pengasuhan dan pekerjaan yang menggunakan empati tinggi yang tidak dianggap sebagai perspektif maskulin.
Kesetaraan gender dapat dicapai dengan pendekatan yang terstuktur dan berdasar dengan teori dan data yang kredibel. Teori yang dapat digunakan adalah Untuk dapat mencapai kesetaraan gender di lingkungan kerja, diperlukan pendekatan yang terencana dan didukung oleh teori serta data yang valid role congruity theory, yang menyatakan bahwa stereotip gender dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan posisi tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan peran yang diharapkan berdasarkan jenis kelamin individu. Berdasarkan data dari MC Kinsey (2022), perusahaan yang memiliki keberagaman gender di tingkat manajerial berpeluang 25% lebih besar untuk mencatat hasil keuangan yang lebih baik dibandingkan perusahaan yang tidak ada keberagaman gender. Salah satu teori yang relevan adalah Data tersebut menunjukkan bahwa keberagaman gender di lingkungan kerja, terutama pada posisi jabatan manajerial, tidak hanya mendukung keadilan, tetapi juga berkontribusi positif terhadap pencapaian perusahaan.
Kesetaraan gender di lingkungan kerja bisa memiliki bermacam dampak dalam segi negatif maupun pasiti, namun hal tersebut masih tergantung dengan pelaksaan dari setiap kebijakan yang ada pada setiap perusahaan yang ada. Dampak positif yang dapat terlihat adalah dengan terciptanya suatu keberagaman yang ada mengenai cara pandang yang digunakan dalam suatu pengambilan keputusan, yang bisa mendukung dan bisa menciptakannya suatu kreativitas dan inovasi yang terbarukan, selain itu dalam disi lain dampak negatid yang ada yaitu ketidakseimbangan antara peluang karis dalam gender, adanya budaya kerja yang tidak inkulif serta adanya beban yang ganda pada individu tertentu. Selain itu kesalahan dalam penerapan kesetaraan gender bisa menyebabkan adanya rasa tidak adil diantara karyawan, karena hal tersebut dapat dianggap merugikan untuk sebagian kelompok. Maka dari itu, kesetaraan gender harus diterapkan secara bijak dan benar.
Kesetaraan gender dapat berdampak positif bia bisa diterapkan dengan baik dan benar. Penerapan kesetaraan gender yang baik bisa menambah kepuasan kerja pada karyawan yang ada sehingga meningkatkan kontribusi dan produktivitas dari kinerja perusahaan yang ada, Jika adanya keterwakilan gender pada suatu perusahaan hal tersebut bisa memiliki suatu pemikiran yang lebih terbuka dalam merespon berbagai tantangan yang ada. Hal ini bisa diterapkan jika perusahaan menginginkan lingkungan yang lebih kondusif dengan mempertahankan lingkungan yang kreatif dan inovatif dalam menghadapi tren pasar yang kian berubah setiap harinya.
Untuk mendapatkan lingkungan yang adil, menciptakan suatu kesetaraan gender dilingkungan kerja merupakan salah satu langkah baik yang dapat dilakukan untuk mendukung hal tersebut. Langkah yang dapat diambil adalah mengubah proses perekrutan dan promosi agar lebih adil, seperti dengan kebijakan “blind recruitment,” di mana pihak rekrutmen menyembunyikan identitas gender selama proses seleksi untuk menghindari bias. Kebijakan ini dapat menilai kandidat berdasarkan kualifikasi dan kemampuan mereka, bukan berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, strategi lain yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran akan bias gender melalui pelatihan dan workshop yang membahas tentang stereotip gender, serta memberikan edukasi tentang pentingnya keberagaman di tempat kerja.
Selain itu, mentoring dan sponsorship juga dapat menjadi sarana untuk mendukung kesetaraan gender. Program mentoring ini memberikan kesempatan bagi karyawan perempuan untuk dibimbing oleh mentor yang lebih senior, baik dari kalangan pria maupun perempuan, untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan dan karier mereka. Ini juga penting untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama terhadap peluang promosi dan pengembangan diri. Dalam hal ini, perusahaan dapat menyediakan platform yang mendorong kolaborasi antara karyawan pria dan wanita dalam proyek-proyek penting, sehingga tercipta rasa saling menghormati dan pengakuan terhadap kontribusi yang diberikan oleh setiap individu.
Lingkungan kerja yang fleksibel juga menjadi salah satu faktor penting untuk mewujudkan kesetaraan gender. Kebijakan seperti work-from-home (WFH), jam kerja fleksibel, atau cuti yang adil bagi pria dan wanita, memungkinkan semua karyawan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Ini sangat penting, terutama untuk wanita yang seringkali terbebani dengan tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan anak. Dengan adanya kebijakan yang mendukung kesetaraan, baik pria maupun wanita dapat lebih berfokus pada pekerjaan mereka tanpa merasa terbebani oleh peran gender tradisional yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kesetaraan gender di lingkungan kerja bukan lagi sekadarrencana, tetapi merupakan kebutuhan penting yang dihadapi oleh organisasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil, produktif, dan bersaing. Meskipun penerapannya masih menghadapi beberapa tantangan, seperti stereotip gender yang membudaya dan resistensi terhadap perubahan, upaya yang konsisten dan terencana dari perusahaan dapat membawa dampak positif yang signifikan. Dampak positif tersebut bisa berupa peningkatan kinerja perusahaan yang terjadi karena adanya kolaborasi antara pegawai laki-laki dan perempuan, terciptanya lingkungan kerja yang lebih harmonis, serta perusahaan yang menjadi lebih kreatif dan inovatif.
Untuk mengatasi stereotip gender membutuhkan banyak hal seperti danya komitmen dari semua aspek dan pihak yang ada di lingkungan kerja, dari yang paling atas hingga karyawan. Strategi yang digunakan untuk mengatasi stereotip gender adalah dengan perekrutan secara transparan, dengan adanya kesadaran bias, serta program “blind recruitment,” serta program pengembangan karir yang inklusif. Kesetaraan gender bergantung pada komitmen semua pihak untuk menciptakan budaya kerja yang menghargai keberagaman dan menghormati potensi setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin. Dengan adanya upaya bersama dari seluruh aspekdiharapkan menciptakan lingkungan kerja yang baik, adil, dan inklusif.
Referensi:
Glick, P., & Fiske, S. T. (2001). An ambivalent alliance: Hostile and benevolent sexism as complementary justifications for gender inequality. American Psychologist, 56(2), 109–118. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.2.109
Eagly, A. H., & Karau, S. J. (2002). Role congruity theory of prejudice toward female leaders. Psychological Review, 109(3), 573–598. https://doi.org/10.1037/0033-295X.109.3.573
McKinsey & Company. (2022). Diversity wins: How inclusion matters. Retrieved from https://www.mckinsey.com
Catalyst. (2021). Why diversity and inclusion matter: Quick take. Retrieved from https://www.catalyst.org
Heilman, M. E. (2012). Gender stereotypes and workplace bias. Research in Organizational Behavior, 32, 113–135. https://doi.org/10.1016/j.riob.2012.11.003
World Economic Forum. (2022). Global Gender Gap Report 2022. Retrieved from https://www.weforum.org
Kossek, E. E., Lewis, S., & Hammer, L. B. (2010). Work–life initiatives and organizational change: Overcoming mixed messages to move from the margin to the mainstream. Human Relations, 63(1), 3–19. https://doi.org/10.1177/0018726709352385