Menurut para pakar psikologi fanatisme merupakan usaha untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan cara-cara yang ekstrem dan penuh hasrat, melebihi batas kewajaran. Dalam konteks ini, fanatisme anime, atau lebih dikenal dengan sebutan wibu, merujuk pada kecintaan yang berlebihan terhadap budaya Jepang, khususnya anime. Anime, sebagai produk budaya Jepang, menawarkan beragam cerita dan tema yang menarik bagi banyak kalangan, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Namun, ketika kecintaan terhadap anime berkembang menjadi fanatisme, dampaknya bisa memengaruhi kepribadian dan pola hidup seseorang. Dengan tema cerita yang banyak seperti komedi, horror, romansi, dan sebagainya, membuat penonton ikut merasakan suasana yang ada di anime. Serta tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang dan karakteristik yang menarik. Maraknya anime di Indonesia menimbulkan fenomena sosial di masyarakat, termasuk mahasiswa. Menurut 4 peneliti, terdapat 63% dari 40 responden terlihat sebagian besar mereka memiliki tingkat ketertarikan yang cukup tinggi terhadap kebudayaan Jepang.
Fanatisme terhadap wibu memiliki beberapa faktor penyebab seperti dari segi cerita, unsur gambar atau grafik, yang akan membuat penonton termotivasi untuk terus menontonnya hingga berjam-jam. Tokoh-tokoh yang memiliki sifat khas dan latar belakang yang menarik, seperti Monkey D. Luffy dari One Piece Atau Takemichi Hanagaki dari Tokyo Revengers, menjadi contoh karakter yang seringkali memberikan inspirasi bagi para penggemarnya. Karakter-karakter ini tidak hanya menyuguhkan hiburan, tetapi juga memberikan pelajaran tentang kehidupan, seperti pantang menyerah, keberanian, dan perjuangan untuk mencapai impian.
Namun, di balik kecintaan yang mendalam terhadap anime, terdapat dampak negatif yang tidak bisa diabaikan. Perlu diingat bahwa anime berasal dari luar negeri, jadi budaya yang diperlihatkan pun budaya luar negeri, yang jauh berbeda dari nilai moral dan budaya di Indonesia. Penggemar anime kebanyakan berasal dari kalangan remaja dan orang dewasa muda seperti mahasiswa yang masih labil. Anime masih bisa mempengaruhi pemikiran dan sudut pandang mereka tentang moral. Pada perilaku konsumtif, mereka membeli barang bertemakan Jepang, seperti kostum cosplay anime, stiker anime, gantungan kunci yang bergambar anime dan masih banyak lagi. Hal ini yang membuat mereka banyak mengeluarkan uang pada saat event jejepangan tersebut bahkan rela menghabiskan uang sampai berjutaan.
Menurut salah satu penelitian, ternyata meskipun seseorang dapat mengalami fanatisme terhadap anime, hal ini tidak berarti bahwa mereka akan kehilangan rasa nasionalisme atau mengabaikan kebudayaan yang ada di negara mereka. Penelitian Tersebut menunjukkan bahwa meskipun fanatisme terhadap budaya luar, khususnya anime, dapat mendalam, orang yang sangat tertarik pada budaya Jepang tetap memiliki ikatan kuat dengan nilai-nilai budaya yang telah tertanam dalam kehidupan mereka sejak kecil, terutama yang bersumber dari keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai ini, yang seringkali bersifat maternal dan terkait dengan pola perilaku kehidupan, tidak akan serta-merta terkikis hanya karena kecintaan terhadap budaya asing.
Pengaruh budaya yang ada di dalam keluarga dan masyarakat, seperti kebiasaan bersosialisasi, adat istiadat, dan cara berpikir yang lebih mengutamakan keharmonisan sosial, tetap berperan dalam membentuk individu. Seorang individu yang tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal cenderung untuk tetap memelihara dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka, meskipun mereka mengagumi budaya lain seperti budaya Jepang melalui anime. Kecintaan terhadap anime bisa berjalan beriringan dengan penghargaan terhadap kebudayaan sendiri, karena keduanya beroperasi di ranah yang berbeda dan dapat saling melengkapi tanpa saling bertentangan.
Kebanyakan orang akan menghabiskan waktu mereka untuk menonton anime bahkan tanpa mereka sadari telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya. Hilangnya Kemampuan untuk mengelola waktu ini, dikarenakan rasa ingin tahu dengan alur cerita anime yang sedang ditonton. Lalu perilaku anti sosial akan mulai muncul, mereka akan selalu menghabiskan waktu sendiri untuk menonton Anime dan jarang ingin bersosial karena terlalu nyaman menghabiskan waktu untuk menonton.
Bagi sebagian individu, dampak negatif dapat mempengaruhi kehidupan dan pola perilakunya. Untuk mengatasi dampak negatif dari fanatisme anime ini, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran diri. Seseorang yang merasa terjebak dalam kecanduan anime harus mengenali bahwa mereka memiliki masalah dalam mengelola waktu dan emosi mereka. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghilangkan perilaku ini seperti, menghapus atau menjual semua anime dan barang yang bersangkutan, menjauh dari komunitas anime dan perwibuan, dan mencari teman yang dapat membawa pengaruh positif. Cobalah untuk mencari kesibukan atau aktivitas lain agar kebiasaan menonton anime dapat berangsur hilang.
Penting bagi individu untuk menyeimbangkan kecintaanterhadap anime dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dilakukan dengan menetapkan batasan waktu untuk menonton anime dan memastikan bahwa waktu untuk belajar, bekerja, atau bersosialisasi tidak terganggu. Dengan demikian, penggemar anime bisa tetap menikmati hiburan ini tanpa mengorbankan aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka.