Di sebuah desa kecil yang dikelilingi ladang hijau, pasangan suami istri, Pak Raji dan Bu Siti, hidup dengan penuh kesederhanaan. Mereka selalu bekerja keras demi membesarkan anak tunggal mereka, Halim, dengan penuh cinta dan doa. Impian mereka sederhana: melihat Halim menjadi seseorang yang berguna bagi banyak orang.
Doa itu akhirnya terkabul. Halim kini seorang dokter kandungan ternama di kota besar. Namanya dikenal luas karena keahliannya membantu para ibu melahirkan dengan penuh rasa aman. Setiap hari, pasien-pasien dari berbagai penjuru datang mencarinya. Namun, di balik kesuksesannya, Halim menyimpan beban yang hanya ia sendiri yang tahu.Suatu sore, Halim pulang ke rumah di desa untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ia membawa kabar baik. “Pak, Bu, Halim berhasil membuka klinik sendiri di kota. Semua ini berkat doa Bapak dan Ibu,” katanya sambil mencium tangan kedua orang tuanya. Mata Pak Raji berkaca-kaca, sementara Bu Siti tak mampu menyembunyikan senyumnya.Namun, di balik kebahagiaan itu, Bu Siti melihat bayang-bayang keraguan di mata anaknya. Ketika mereka duduk bersama di beranda rumah malam itu, Bu Siti bertanya dengan lembut, “Nak, kamu kelihatan bahagia, tapi kenapa mata kamu seperti menyimpan sesuatu?”Halim terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Bu, Bapak, Halim bingung. Banyak orang menganggap Halim sempurna, tapi di hati Halim ada hal yang belum selesai. Halim… belum tahu siapa yang harus dipilih untuk menemani hidup.”Pak Raji dan Bu Siti saling berpandangan. “Kamu bertemu seseorang, Nak?” tanya Pak Raji.“Iya, Pak. Ada dua orang yang Halim pikirkan. Satu adalah Rani, dia seorang perawat yang bekerja di klinik Halim. Dia baik hati, sederhana, dan selalu mendukung Halim. Tapi di sisi lain, ada Karina, teman lama dari kuliah. Dia cerdas, ambisius, dan memiliki mimpi besar yang serupa dengan Halim. Mereka berdua membuat Halim merasa nyaman, tapi memilih salah satu rasanya seperti mengkhianati yang lain.”Pak Raji tersenyum bijak. “Nak, pasangan hidup bukan hanya soal siapa yang paling cocok di mata orang lain, tapi siapa yang hatimu yakin bisa kamu ajak berjalan bersama, bahkan di jalan yang sulit sekalipun.”Bu Siti menambahkan, “Cinta itu seperti kita merawat tanaman, Nak. Kamu harus tahu siapa yang bisa bertumbuh bersama kamu, yang bisa kamu jaga tanpa merasa lelah.”Halim terdiam sepanjang malam, merenungi kata-kata orang tuanya. Keesokan harinya, ia kembali ke kota dengan hati yang lebih tenang. Ia mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk memahami kedua orang tersebut, tanpa tergesa-gesa mengambil keputusan.Beberapa bulan berlalu, dan akhirnya Halim kembali ke desa dengan membawa seseorang. Di beranda rumah, ia memperkenalkan Rani kepada orang tuanya. “Bu, Pak, ini Rani. Halim merasa dia orang yang bisa berjalan bersama Halim, seperti yang kalian bilang.”Pak Raji dan Bu Siti menyambut Rani dengan hangat. “Kalau ini pilihan hatimu, Nak, kami akan selalu mendukung,” kata Bu Siti sambil memeluk Halim.Meski perjalanan Halim tak selalu mudah, ia menemukan bahwa kebahagiaan sejati datang dari keberanian memilih dengan hati, bukan sekadar logika. Bersama Rani, ia terus membantu banyak nyawa di dunia, dengan dukungan doa dari orang tua yang selalu bangga akan anaknya.