Di zaman yang semakin modern ini, terutama di era gen z yang memerlukan kesehatan mental ekstra. Ternyata, bagaimana pola asuh orang tua terhadap anak sering kali menjadi sorotan dengan alasan bahwa hal ini sangat berdampak terhadap latar belakang sehat atau tidaknya mental seseorang. Sehingga, pola asuh seperti apakah yang sering kali membentuk mental yang mungkin tidak diharapkan oleh seorang anak? dan apakah ada cara dalam menangani ketidaksesuaian pola asuh orang tua dengan kebutuhan anak?
Saat ini dunia digital sudah berkembang luas, internet juga dapat dengan mudah di akses dimana-mana, Sehingga media sosial sudah menjadi sahabat kita semua. Selain sebagai tempat mengakses informasi dan sarana berkomunikasi, media sosial juga kerap menjadi tempat curhat dan speak up atau menyuarakan pendapat, perasaan, dan pikiran dengan tujuan tertentu. Seperti yang banyak kita temukan, di media sosial banyak anak yang mengutarakan tentang bagaimana keadaan mental health mereka, apa yang menyebabkan mereka tidak merasa bahagia, dan bahkan dengan lantang menyerukan kepedulian mereka terhadap kesehatan mental dengan selalu mengaitkan bagaimana peran dan pola asuh orang tua di dalamnya. Hal ini membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa pola asuh bisa membuat seseorang tidak bahagia? pola asuh yang seperti apakah yang menyebabkan hal tersebut?
Ternyata, dari beberapa macam pola asuh. Pola asuh Otoriter merupakan pola asuh yang paling banyak membuat anak dari pola asuh tersebut speak up terhadap masalahnya. Pola asuh Otoriter adalah karakter pola asuh orang tua yang memaksakan kehendak anaknya, orang tua yang berkarakter otoriter ini biasanya menempatkan diri penuh sebagai pengendali dan pengawas, mereka kerap memaksa anak untuk mengikuti semua kehendak mereka, tidak mau membuka diskusi dengan anak, dan cenderung melakukan pendekatan dengan unsur memaksa dan juga mengancam, hingga seolah-olah peraturan mereka adalah hukum yang tidak bisa diubah. Sedangkan, menurut Diana Baumrind dalam Santrock, Pola asuh merupakan cara orang tua memberikan arahan dalam membimbing dan mendampingi anak dalam menyelesaikan tugas perkembangannya untuk proses pendewasaan. Sehingga dalam hal ini, Pola asuh memberikan peran penting terhadap perkembangan anak. Terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, karena orang tua adalah awal pembuka dari segala aspek keberlanjutan hidup anak. Seperti dalam beberapa penelitian, hasilnya menunjukan seberapa pentingnya pola asuh yang baik, dan hal tersebut memuai banyak kritik, tanggapan, bahkan diulas lebih lanjut. Dampak dari pola asuh otoriter sendiri pun cukup banyak, salah satunya yaitu mereka merasa tidak bahagia. Menurut Seligman, Perasaan tidak bahagia adalah keadaan psikologis yang rendah terhadap pemikiran, perasaan positif dan kepuasan hidup yang dijalaninya. Hal ini terdapat beberapa faktor yang menyebabkannya, dan terdapat pula dampaknya terhadap jangka pendek maupun jangka panjang.
Orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, dan beberapa orang tua pastinya memiliki rencana atau pandangan terhadap anaknya di masa depan. Hal ini terkadang bertentangan dengan keinginan anak yang memiliki mimpi dan harapannya sendiri, pola asuh otoriter membuat anak merasa dikekang, tidak leluasa, dan juga menimbulkan khawatir pada dirinya yang bertanda kutip “tidak bebas”, karena mereka merasa tidak dapat mengekspresikan dirinya. Pola asuh otoriter juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sifat anak dengan lingkungannya. Biasanya, anak sering merasa khawatir dan takut terhadap konsekuensi dari tindakan mereka, seperti “kira-kira orang tuaku akan mengizinkan tidak ya?”, atau “kira-kira orang tuaku bisa mengerti tidak ya dengan jalan pikiranku yang seperti ini?”. Sehingga dari pemikiran kebanyakan anak tersebut, mereka pastinya akan cenderung ragu untuk melakukan hal yang mungkin sebenarnya tidaklah kesalahan. Namun, mereka khawatir akan respon dan konsekuensi yang akan mereka tanggung. Anak juga mungkin melakukan semua hal hanya sebagian atau tidak tuntas karena mereka berpikir orang tuanya akan selalu mengontrol dan selalu akan ikut serta dalam setiap urusan mereka. Anak juga cenderung menghindar dari orang tuanya jika orang tuanya tidak sejalan dengan apa yang dia inginkan, karena takut akan mendengar omelan orang tuanya yang kurang setuju terhadap pendapatnya. Hal ini dapat menimbulkan sifat ketidakberanian seorang anak untuk mengungkapkan aspirasi dan keinginan dirinya, dan bahkan dapat menimbulkan beberapa pemikiran yang bertolak belakang dengan kemauannya sendiri, seperti “kenapa harus memikirkan tujuan dan minat untuk ini dan itu sedangkan pada akhirnya juga akan tetap harus mengikuti keinginan dan jalan orang tuaku”, hal tersebut mungkin akan memberi dampak yang berkepanjangan terhadap keterampilan sosial dan emosional anak, karena keterbatasan anak dalam mengembangkan dirinya. Seperti, rendahnya rasa percaya diri dan ketergantungan yang berlebihan, tidak mampu mengatur dirinya sendiri atau tidak dapat belajar mandiri, bahkan tidak mengetahui jati dirinya yang sesungguhnya dan mungkin hal ini dapat menimbulkan kecemasan atau bahkan stres, sehingga membuat anak tidak bahagia.
Sifat atau perilaku pasti memiliki alasan dan maksud tersendiri. Sikap keotoriteran orang tua pun memiliki dasar dan sebab tersendiri yang berbeda beda setiap orang tua. Banyak di antaranya hanya ingin melindungi anaknya agar tetap patuh sehingga dengan cara apapun akan mereka lakukan. Adapun karena memang tuntutan budaya, latar belakang, atau alasan lain terhadap lingkungan dan keadaan itu sendiri. Sebagian besar juga dapat dikarenakan kurangnya persiapan dalam memola asuh anak. Maka dari hal ini, penting bagi orang tua mempersiapkan diri secara mental, fisik dan pengetahuan mengenai bagaimana cara pola asuh yang seharusnya diberikan untuk anak-anaknya atau yang dikenal dengan “ilmu parenting“. Dengan ini, orang tua diharapkan dapat memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh anak. Seperti, mencoba menerapkan pola asuh demokratis yang mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan anak, dikarenakan pola asuh demokratis ini bersifat terbuka dan menghubungkan komunikasi dua arah. Sehingga anak dapat menyampaikan apa yang mereka inginkan, dan dapat mengambil keputusan bersama sebagai jalan tengah agar saling memahami dan menciptakan keluarga yang bahagia.