Di sebuah pasar tradisional, seorang pedagang teh bernama Pak Man dikenal sebagai orang yang rajin bekerja. Ia punya warung kecil di sudut pasar dan selalu menyeduh teh dengan senyum ramah. Pak Man tak pandai bicara soal agama, tapi ia selalu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu orang-orang miskin di kampung.
Suatu hari, pasar kedatangan seorang ustaz kondang yang biasa tampil di layar kaca. Ustaz itu mampir ke warung Pak Man untuk minum teh. Saat menyeruput teh, ustaz itu mengernyitkan dahi.
“Pak, teh ini kok biasa saja rasanya? Saya heran, kok bisa pedagang kecil seperti Anda bertahan? Mungkin kalau usaha ini lebih modern, hasilnya lebih berkah,” ujar ustaz itu sambil melirik ke arah kamera vlog yang sedang merekamnya.
Pak Man tersenyum sopan. “Maaf, Ustaz, teh saya memang sederhana, seperti hidup saya. Tapi insyaAllah, rezekinya halal dan cukup untuk keluarga saya.”
Sang ustaz terkekeh, “Ya, tapi zaman sekarang usaha itu harus punya inovasi. Kalau cuma teh kampung begini, mana bisa maju?”
Pak Man mengangguk sambil menuang teh untuk pembeli lain. Lalu ia berkata, “Ustaz, teh ini mungkin sederhana, tapi selalu dinikmati orang-orang kecil yang haus di pasar. Sama seperti ceramah, kan? Kalau ceramahnya cuma untuk orang-orang besar dan lupa orang kecil, apa itu masih bermanfaat?”
Mendengar itu, ustaz terdiam. Kamera vlog-nya tiba-tiba mati, dan suasana warung berubah hening.